Yang Tak Pernah Usai
Kisah fiksi memang hanya balutan kisah nyata yang diromantisasi. Terkadang berisi denial dari kehidupan nyata yang pahit, diberi gula dalam tulisan. Setidaknya itu obat kepedihan.
Note ya, bisa sambil dengerin Ingkar-Tulus buat soundtrack :D Enjoy!
Yang Tak Pernah Usai
Malam itu tak terlalu cerah juga tak terlalu sendu, biasa saja. Ada mata yang fokus menatap layar, terkadang matanya menyipit juga terbelalak. Tangannya dengan cekatan menekan kombinasi di papan tik yang menyala warna-warni. Tetikus disampingnya digunakan sesekali. Mug berwarna putih gading berisi kopi susu yang dingin jatuh tersenggol saat tangannya menggerakkan benda mirip tikus itu. Tetapi pandangannya belum lepas dari layar di depannya. Ia hanya menghela napas dan memutar matanya malas. Sesekali melirik cairan kecoklatan itu merembes ke kertas yang dipenuhi tulisan yang entah apa isinya. Setelah berpikir cukup lama, ia berdiri mengambil tisu dan kain untuk menyeka. Ia berdecak, ternyata kain yang dipakai itu kaosnya yang baru diangkat dari jemuran.
Sambil menghela napas kasar, ia memasukkan kaos tersebut ke mesin cuci tanpa menyalakannya. Ponsel di sakunya bergetar.
Message Unread
Gi
Ke depan, aku bawa nasi goreng
Ia melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Kamu beneran jadi ke Singapur?" perempuan itu menodong pertanyaan sembari menyodorkan piring berisi nasi goreng.
"Kan aku mau bikin robot humanoid sendiri, mau bikin AI Friday, kaya Iron Man, ya berangkatlah. Masa kaya kamu ngikut terus," jawabnya sambil menerima piring.
"Kalau kamu ke Singapur susah cari nasi goreng kurang garem kayak punyaku," ucap perempuan itu sambil tersenyum.
Laki-laki itu mengangguk-ngangguk, mengatakan 'ya' tanpa suara dan menyendok penuh. "Kebanyakan lada, Gi, " Ia berkomentar tanpa ekspresi.
"Aku tadi habis nulis manfaat lada, cocok banget sama sambaranmu, asam lambung , sakit kepala, masuk angin. Ya udah aku kasih yang banyak," jawab Gi.
Laki-laki itu tersenyum tipis namun terlihat manis dimata Gi. Semanis sinar matahari pagi, seperti namanya Ravi, matahari.
Gi mengeluarkan buku dengan sampul biru muda pudar dan menyodorkan pada Ravi. "Nih, belum dikirim ke publisher dan kayaknya enggak deh, buat kamu aja, kado ulang tahun."
Ravi meletakkan sendok di piring tapi tetap mengunyah nasi goreng lada buatan Gi. Ia membuka halaman acak, tepat pada halaman dengan judul besar "Tamat".
Malam menguak pekat
dalam ingatan yang lekat
Mencari kata sepakat
untuk sebuah tempat
Semua berawal debat
yang berakhir tamat
Duhai kasih,
Belas tanpa hati
menyisakan perih
Rasa yang mati
disambut oleh tatih
Menghujani ribuan tanya
tanpa ada jawab terucap
Mengharap asa, tak usai harap.
Ravi tersenyum kecut membacanya. Otaknya bertanya-tanya kenapa bisa ada orang seperti Gi yang tertawa dalam tangis karena dirinya. Hubungan mereka sejak dulu selalu rumit, berputar-putar baikan, balikan, bubaran. Selalu begitu. Orang lain yang mendengar saja sudah lelah apalagi siklus itu sudah berputar selama 8 tahun.
Ravi menatap Gi, "kamu nggak capek, Gi?"
"Halah kamu, kaya baru sekali dua kali kaya gini," sergah Gi seakan tau maksud Ravi. "Kamu tau sendiri aku kaya gimana kan, mantanmu mana yang aku ngga tau, aku nggak pernah masalah sama itu," ucap Gi.
"Aku baja, kamu tau itu. Nggak usah bilang kaya gitu lagi, kamu pacaran sama sahabatku aja aku berani bilang masih suka kamu kok," kata Gi sambil memutar bola matanya ke kanan-kiri.
Gi sudah terbiasa seperti ini, Ia tak pernah malu tentang perasaanya pada Ravi, urat malunya putus. Tetapi tidak pada orang lain. Beberapa kali Ia mencoba untuk membuka hati tapi nihil, selalu kembali. Juga saat Ravi berpacaran dengan sahabatnya, awalnya Ia ragu untuk berinteraksi lagi namun kebiasaan memang sulit dihilangkan.
Sendokan terakhir Ravi, lalu beranjak mengambil segelas air. Ia kembali duduk dan meraih gitar usangnya. Petik demi petik terdengar. Telinga Gi merasa lagu ini tidak cocok dengan Ravi.
"Nggak cocok banget sama kamu," ejek Gi.
"Aku suka fingerstyle-nya, liriknya kamu banget," balas Ravi mengejek.
Gi cemberut mendengar jawaban Ravi namun setelahnya Ia tertawa sadar bahwa memang benar. Namun lagu tidak match setidaknya sering diputar Ravi otomatis juga akan diputar Gi. Sepertinya yang berhubungan dengan Ravi, Gi selalu suka selain makanan asin dan Game FPS yang selalu Ravi mainkan. Gi tidak pernah telaten belajar bermain game kesukaan Ravi. Buruk sekali kemampuan Gi. Terlebih laptop jadulnya tidak akan kuat.
"Rav, dengan kamu sadar gitu aku jadi semakin nggak mau berhenti ngerasa kaya gini, emang sih tiap kamu punya pacar baru atau balikan sama yang lain rasanya sakit, tapi makin lama hubungan kamu sama orang lain aku bisa kok tetep bersikap kaya gini," Gi berucap panjang lebar dengan menatap Ravi.
"Kenapa? Karena aku nggak pernah peduli dengan siapapun kamu, perasaanku selalu sama."
Ravi bergeming, Gi juga berhenti menatap. Malam terasa semakin dingin, Ravi yang biasa selalu menjawab dan Gi yang selalu mendebat tak terjadi malam ini. Hening. Tak perlu ditanya lagi arah hubungan mereka, tetap seperti ini. Lagipula Gi selalu menyukai Ravi sepaket beserta rasa sakitnya.



Komentar
Posting Komentar